PENDAHULUAN
Menurut Alvin A. Arens, Mark S.
Beasley dan Randal J. Elder, (2011:4) auditing adalah akumulasi dan evaluasi
bukti tentang informasi dan kriteria yang telah ditetapkan. Audit harus dilakukan
oleh seorang yang kompeten, independen orang.
Menurut Mulyadi (2002:9 ) auditing
adalah sebagai suatu proses yang sistematis dalam memperoleh dan mengevaluasi
bukti secara objektif yang berhubungan dengan pernyataan-pernyataan tentang
tindakan-tindakan dan kejadiankejadian ekonomi untuk menentukan tingkat
hubungan antara pernyataan pernyataan tersebut dengan kriteria yang ditetapkan
dan mengkomunikasikan hasilnya dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
Menurut PSAK – Tim Sukses UKT
Akuntansi 2006 auditing adalah suatu proses sistematik yang bertujuan untuk
memperoleh dan mengevaluasi bukti yang dikumpulkan atas pernyataan atau asersi
tentang aksi-aksi ekonomi dan kejadiankejadian dan melihat bagaimana tingkat
hubungan antara pernyataan atau asersi dengan kenyataan dan menkomunikasikan
hasilnya kepada yang berkepentingan.
Jadi kesimpulan mengenai auditing
adalah ilmu memeriksa, yaitu membandingkan antara fakta dan kriteria.
Tujuan audit secara umum atas
laporan keuangan oleh auditor adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran
dalam semua hal yang material, posisi keuangan hasil usaha dan arus kas yang
sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesia. Kewajaran laporan
keuangan yang dinilai berdasarkan asersi yang terkandung dalam setiap unsur
yang disajikan dalam laporan keuangan. Asersi adalah pernyataan manejemen yang
terkandung dalam komponen laporan keuangan.
LANDASAN
TEORI
2.1 Faktor Pendukung Auditor
Dalam menjalani misi internal auditor terdapat beberapa faktor pendukung
yang dihadapi oleh auditor antara lain ”
1. Faktor Intern
* Kualitas auditor
* Perilaku para auditor
* Hasil pemeriksaan
2. Faktor Ekstern
* Dukungan top management
* Struktur organisasi internal audit
* Kedudukan internal audit yang independent
2.2 Tantangan Yang Dihadapi Auditor
Selain faktor pendukung terdapat pula beberapa tantangan yang dihadapi
oleh auditor, diantaranya :
* Budaya ewuh pakewuh
* Pandangan bahwa internal audit mengganggu kegiatan
* Kesulitan membentuk kriteria
* Tanggapan unit yang diperiksa
* Diragukan independensinya
* Eselonering atau jenjang jabatannya tidak sejajar dengan direktur,
melainkan sedikit dibawah para direktur eksekutif yang kegiatannya harus
diperiksa
* Kedudukannya diuar jabatan sebagai chief of internal audit diangkat
dengan surat keputusan direktur utama, bukan oleh pejabat diluar direksi,
misalnya dewan komisaris atau dewan pengawas atau RUPS. Internal audit walaupun
tidak setingkat direktur sebaiknya merasa sebagai tangan kanan Direktur Utama
sehingga tindakan yang dilakukan untuk dan atas nama Direktur Utama.
2.3 Jenis-Jenis Risiko Audit
Dari rumusan model risiko audit ada 4 (empat) jenis risiko
audit. Masing-masing jenis risiko audit tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Planned Detection Risk (Risiko Penemuan yang Direncanakan)
Adalah risiko bahwa bukti yang dikumpulkan dalam segmen gagal
menemukan kekeliruan yang melampaui jumlah yang dapat ditolerir. Jika
kekeliruan semacam itu timbul. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan:
a. PDR tergantung pada tiga unsur risiko lainnya dalam model.
Jadi risiko penemuan yang direncanakan hanya akan berubah jika auditor mengubah
salah satu unsur lainnya.
b. PDR menentukan besarnya bukti yang akan dikumpulkan.
Hubungan antara PDR dengan bukti berbanding terbalik. Jika nilai risiko
penemuan yang direncanakan diperkecil, berarti jumlah bukti yang harus
dikumpulkan auditor dalam audit lebih banyak.
2. Acceptable Audit Risk (Risiko Audit yang dapat diterima)
Adalah ukuran ketersediaan auditor untuk menerima bahwa
laporan keuangn mengandung salah saji material tanpa pengecualian telah
diberikan. Risiko ini ditetapkan secara subyektif bahwa auditor bersedia
menerima laporan keuangan tidak disajikan secara wajar setelah audit selesai
dan pendapat wajar tanpa pengecualian telah diberikan. Kalau auditor menetapkan
tingkat risiko audit yang dapat diterima rendah, berarti ia ingin lebih
memastikan bahwa tidak ada kekeliruan yang material dalam laporan keuangan.
Tingkat risiko nol berarti kepastian penuh bahwa laporan
keuangan tidak mengandung kekeliruan yang materia dan tingkat risiko ini 100%
berarti auditor sangat tidak yakin kalau laporan keuangan tidak mengandung
salah saji atau kekeliruan yang material.
3. Inherent Risk (Risiko Bawaan atau Risiko Melekat)
Adalah penetapan auditor akan kemungkinan adanya kekeliruan
(salah saji) dalam segmen audit yang melampaui batas toleransi, sebelum
memperhitungkan faktor efektivitas pengendalian intern.
Risiko bawaan menunjukkan faktor kerentanan laporan keuangan
terhadap kekeliruan yang material dengan asumsi tidak ada pengendalian intern.
Bila auditor berkesimpulan bahwa akan banyak kemungkinan
terjadi kekeliruan tanpa pengendalian intern, berarti risiko bawaannya tinggi.
Faktor pengendalian intern tidak diperhitungkan dalam
menetapkan inherent risk (risiko bawaan) karena dalam model risiko audit hal
itu akan diperhitungkan tersendiri sebagai risiko pengendalian.
Hubungan antara risiko bawaan (inherent risk) dengan risiko
penemuan (planned detection risk) serta rencana pengumpulan bukti adalah bahwa
inherent risk sifatnya berbanding terbalik dengan planned detection risk
rendah, maka planned detection risk tinggi dan bukti yang harus dikumpulkan pun
sedikit.
4. Control Risk (Risiko Pengendalian)
Adalah ukuran penetapan auditor akan kemungkinan adanya
kekeliruan (salah saji) dalam segmen audit yang melampaui batas toleransi yang
tidak terdeteksi atau tercegah oleh struktur pengendalian intern klien. Risiko
pengendalian (control risk) mengandung unsur:
a. Apakah struktur pengendalian intern klien cukup efektif
untuk mendeteksi atau mencegah kekeliruan.
b. Keinginan auditor untuk membuat penetapan tersebut di
bawah nilai maksimum (100%) dalam rencana audit.
Misalnya: auditor menyimpulkan bahwa struktur pengendalian
intern yang ada sama sekali tidak efektif dalam mencegah atau mendeteksi
kekeliruan.
2.4 Peranan Etika
dalam Profesi Auditor
Audit membutuhkan pengabdian yang
besar pada masyarakat dan komitmen moral yang tinggi. Masyarakat menuntut untuk
memperoleh jasa para auditor publik dengan standar kualitas yang
tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.
Itulah sebabnya profesi auditor
menetapkan standar teknis dan standar etika yang harus dijadikan panduan oleh
para auditor dalam melaksanakan audit
Standar etika diperlukan bagi
profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan
menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan.
Kode etik atau aturan etika profesi
audit menyediakan panduan bagi para auditor profesional dalam mempertahankan
diri dari godaan dan dalam mengambil keputusan-keputusan sulit. Jika auditor tunduk pada tekanan
atau permintaan tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap komitmen pada
prinsip-prinsip etika yang dianut oleh profesi.
Oleh karena itu, seorang auditor
harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya agar tidak mudah takluk pada
godaan dan tekanan yang membawanya ke dalam pelanggaran prinsip-prinsip etika
secara umum dan etika profesi. etis yang tinggi; mampu mengenali
situasi-situasi yang mengandung isu-isu etis sehingga memungkinkannya untuk
mengambil keputusan atau tindakan yang tepat.
2.5 Pentingnya
Nilai-Nilai Etika dalam Auditing
Beragam masalah etis berkaitan
langsung maupun tidak langsung dengan auditing. Banyak auditor menghadapi
masalah serius karena mereka melakukan hal-hal kecil yang tak satu pun tampak
mengandung kesalahan serius, namun ternyata hanya menumpuknya hingga menjadi
suatu kesalahan yang besar dan merupakan pelanggaran serius terhadap
kepercayaan yang diberikan.
Untuk itu pengetahuan akan
tanda-tanda peringatan adanya masalah etika akan memberikan peluang untuk
melindungi diri sendiri, dan pada saat yang sama, akan membangun suasana etis
di lingkungan kerja.
Masalah-masalah etika yang dapat
dijumpai oleh auditor yang meliputi permintaan atau tekanan
untuk:
- Melaksanakan tugas yang bukan merupakan kompetensinya
- Mengungkapkan informasi rahasia
- Mengkompromikan integritasnya
dengan melakukan pemalsuan, penggelapan, penyuapan dan sebagainya.
- Mendistorsi obyektivitas dengan menerbitkan
laporan-laporan yang menyesatkan.
2.6 Dilema Etika
Dilema etika adalah situasi yang
dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai perilaku yang pantas harus
dibuat.
Auditor banyak menghadapi dilema
etika dalam melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan auditan jelas merupakan
dilema etika.
Ada beberapa alternatif pemecahan
dilema etika, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari cara yang merupakan
rasionalisasi perilaku tidak beretika.
Berikut ini adalah metode rasionalisasi yang biasanya
digunakan bagi perilaku tidak beretika:
1. Semua
orang melakukannya. Argumentasi yang mendukung penyalahgunaan pelaporan pajak,
pelaporan pengadaan barang/jasa biasanya didasarkan pada rasionalisasi bahwa
semua orang melakukan hal yang sama, oleh karena itu dapat diterima.
2. Jika
itu legal, maka itu beretika. Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku
legal adalah beretika sangat berhubungan dengan ketepatan hukum. Dengan
pemikiran ini, tidak ada kewajiban menuntut kerugian yang telah dilakukan
seseorang.
3. Kemungkinan
ketahuan dan konsekuensinya. Pemikiran ini bergantung pada evaluasi hasil temuan
seseorang. Umumnya, seseorang akan memberikan hukuman (konsekuensi) pada
temuan tersebut.
2.7 Pemecahan
Dilema Etika
• Pendekatan
enam langkah berikut ini merupakan pendekatan sederhana untuk memecahkan dilema
etika:
1. Dapatkan
fakta-fakta yang relevan
2. Identifikasi
isu-isu etika dari fakta-fakta yang ada
3. Tentukan
siapa dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi oleh dilema etika
4. Identifikasi
alternatif-alternatif yang tersedia bagi orang yang memecahkan dilema etika
5. Identifikasi
konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif
6. Tetapkan
tindakan yang tepat.
2.8 Kode Etik
Akuntan Indonesia
Etika profesional bagi praktik
akuntan di Indonesia ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan disebut
dengan Kode Etik Akuntan Indonesia.
Dalam hubungan ini perlu diingat
bahwa IAI adalah satu-atunya organisasi profesi akuntan
di Indonesia. Anggota IAI meliputi auditor dalam berbagai jenisnya (auditor independen/publik,
auditor intern dan auditor pemerintah), akuntan manajemen, dan akuntan
pendidik. Oleh sebab itu, kode etik IAI berlaku bagi semua anggota IAI, tidak
terbatas pada akuntan anggota IAI yang berpraktik sebagai akuntan publik.
Kode Etik Akuntan Indonesia
mempunyai struktur seperti kode etik AICPA yang meliputi prinsip etika, aturan
etika dan interpretasi aturan etika yang diikuti dengan tanya jawab dalam
kaitannya dengan interpretasi aturan etika.
Prinsip-prinsip etika dalam Kode Etik IAI ada 8 (delapan),
yaitu:
1. Tanggung
Jawab
2. Kepentingan
Umum (Publik)
3. Integritas
4. Obyektivitas
5. Kompetensi
dan Kehati-hatian Profesional
6. Kerahasiaan
7. Perilaku
Profesional
8. Standar
Teknis
2.9 Independensi Auditor
Sesuai dengan etika profesi, akuntan
yang berpraktik sebagai auditor dipersyaratkan memiliki sikap independensi
dalam setiap pelaksanaan audit.
Dalam kaitannya dengan auditor,
independensi umumnya didefinisikan dengan mengacu kepada
kebebasan dari hubungan (freedom from relationship) yang merusak atau tampaknya merusak
kemampuan akuntan untuk menerapkan obyektivitas. Jadi, independensi diartikan
sebagai kondisi agar obyektivitas dapat diterapkan.
Selain itu, terdapat pengertian lain
tentang independensi yang berarti cara
pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil
pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Independensi harus dipandang sebagai salah satu ciri
auditor yang paling penting.
Alasannya adalah begitu banyak pihak
yang menggantungkan kepercayaannya kepada kelayakan laporan keuangan
berdasarkan laporan auditor yang tidak memihak.
Independensi dan Profesionalisme
Seorang akuntan yang profesional seharusnya tidak menggunakan pertimbangannya
hanya untuk kepuasan auditan. Dalam realitas auditor, setiap pertimbangan
mengenai kepentingan auditan harus disubordinasikan kepada kewajiban atau
tanggung jawab yang lebih besar yaitu kewajiban terhadap pihak-pihak ketiga dan
kepada publik. Prinsip kunci dari seluruh gagasan profesionalisme adalah bahwa
seorang profesional memiliki pengalaman dan kemampuan mengenali/memahami bidang
tertentu yang lebih tinggi dari auditan. Oleh karena itu, profesional tersebut
seharusnya tidak mensubordinasikan pertimbangannya kepada keinginan auditan.
Sikap mental independen harus
meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in
appearance).
Independensi dalam kenyataan akan ada apabila pada
kenyataannya auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang
pelaksanaan audit.
Independen dalam penampilan berarti
hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi. Apabila auditor memiliki
sikap independen dalam kenyataan tetapi pihak lain yang berkepentingan yakin
bahwa auditor tersebut adalah penasihat auditan maka sebagian besar nilai
fungsi auditnya akan sia-sia.
a.
Independensi dalam Kenyataan
Independensi dalam kenyataan
merupakan salah satu aspek paling sulit dari etika dalam profesi akuntansi.
Kebanyakan auditor siap untuk menegaskan bahwa untuk sebagian besar
independensi dalam kenyataan merupakan norma dalam kehidupan sehari-hari
seorang profesional. Namun mereka gagal untuk memberikan bukti
penegasan ini atau bahkan untuk menjelaskan mengapa mereka percaya bahwa hal itu benar
demikian Adalah hal yang sulit untuk membedakan sifat-sifat utama yang
diperlukan untuk independensi dalam kenyataan. Audit dikatakan gagal jika
seorang auditor memberikan pendapat kepada pihak ketiga bahwa laporan keuangan
disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum
padahal dalam kenyataannya tidak demikian. Seringkali kegagalan audit
disebabkan oleh tidak adanya independensi.
Contoh tidak adanya independensi dalam
kenyataan adalah tidak adanya obyektivitas dan skeptisisme, menyetujui
pembatasan penting yang diajukan auditan atas ruang lingkup audit atau dengan
tidak melakukan evaluasi kritis terhadap transaksi auditan. Beberapa pihak juga
percaya bahwa ketidakkompetenan merupakan perwujudan dari tiadanya independensi
dalam kenyataan.
b.
Independensi dalam Penampilan
Independensi dalam penampilan
mengacu kepada interpretasi atau persepsi orang mengenai independensi auditor.
Sebagian besar nilai laporan audit berasal dari status independensi dari
auditor. Oleh karena itu, jika auditor adalah independen dalam kenyataan,
tetapi masyarakat umum percaya bahwa auditor
berpihak kepada auditan, maka sebagian nilai fungsi audit akan hilang.
Adanya persepsi mengenai tidak
adanya independensi dalam kenyataan tidak hanya menurunkan nilai laporan audit
tetapi dapat juga memiliki pengaruh buruk terhadap profesi. Auditor berperan
untuk memberikan suatu pendapat yang tidak bias pada informasi keuangan yang
dilaporkan berdasarkan pertimbangan profesional. Jika auditor secara
keseluruhan tidak dianggap independen, maka validitas peran auditor di dalam
masyarakat akan terancam. Kredibilitas profesi pada akhirnya bergantung kepada
persepsi masyarakat mengenai independensi (independensi dalam penampilan),
bukan independensi dalam kenyataan.
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan pembahasan yang telah dilakukan dalam penulisan, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Seorang auditor harus memiliki sikap
yang jujur sehinga dapat di percaya.
2.
Auditor memiliki berbagai macam resiko
dalam pekerjaannya sehinga auditor tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun..
3.
Auditor harus memiliki etika yang baik
dalam melaksanakan tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar