BAB
V
HUKUM
PERJANJIAN
Ditinjau
dari Hukum Publik
A.
Pengertian Perjanjian
Dalam Hukum Publik,
perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional. Saat ini pada
masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang
sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian
Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama
untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya.
Sampai tahun 1969,
pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum
kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum
Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari
tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April – 22 Mei
1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian
melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal
23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan
merupakan hukum internasional positif. Pasal 2 Konvensi Wina 1969
mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu persetujuan yang
dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional,
apakah dalam instrumen tunggal atau dua ataulebih instrumen yang berkaitan dan
apapun nama yang diberikan kepadanya.
Pengertian diatas
mengandung unsur :
a. adanya subjek hukum
internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan
pembebasan.
Pengakuan negara
sebagai sebagai subjek hukum internasional yang mempunyai kapasitas penuh untuk
membuat perjanjian-perjanjian internasional tercantum dalam Pasal 6 Konvensi
Wina. Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat
perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari
negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat merupakan bidang
kewenangan organisasi internasional tersebut.
Pembatasan tersebut
terlihat pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan
diakui namun bersifat selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan
tersebut harus diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut
berada. Terbatas artinya keikutsertaangerakan dalam perjanjian adalah untuk
melaksanakan keinginan gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.
b. rezim hukum
internasional.
Perjanjian
internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak boleh tunduk pada
suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh negara atau
organisasi internasional namun apabila telah tunduk pada suatu hukum nasional
tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional.
B.
Syarat sahnya perjanjian
Berbeda dengan
perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya
kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian
naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian itu sah,
tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan ratifikasi.
Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
a. perundingan dimana
negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral maupun multilateral;
b. penerimaan naskah
perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah perjanjian oleh peserta
konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta melalui
pemungutan suara;
c. kesaksian naskah
perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal yang
menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi.
Pasal 10 Konvensi Wina,
dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian atau sesuai
dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam konferensi. Kalau tidak
ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan membubuhi tanda tangan atau
paraf di bawah naskah perjanjian.
d. persetujuan
mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara
tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian,
dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a) penandatanganan,
Pasal 12 Konvensi Wina
menyatakan :
- persetujuan negara
untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil
negara tersebut;
- bila perjanjian itu
sendiri yang menyatakannya;
- bila terbukti bahwa
negara-negara yang ikut berunding menyetujui demikian;
- bila full powers
wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas pada waktu
perundingan.
b) pengesahan, melalui
ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang berwenang di
negara anggota.
C.
Akibat perjanjian
1) Bagi negara pihak :
Pasal 26 Konvensi Wina
menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak
dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Pelaksanaan
perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus mengambil tindakan
yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian didasarkan
pada prinsip pacta sunt servanda.
2) Bagi negara lain :
Berbeda dengan
perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh menimbulkan hak dan
kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat
bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak kepada
negara-negara ketiga atau mempunyai
akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh :
Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB
harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk
perdamaian dan keamanan internasional).
Pasal 35 Konvensi Wina
mengatur bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak
ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana persetujuan tersebut
diwujudkan dalam bentuk tertulis.
D. Berakhirnya
perjanjian
(1) sesuai dengan
ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2) atas persetujuan
kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3) akibat
peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan
kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum
internasional yang baru, perang.
E.
Macam – Macam Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan
suatu tujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakuka
antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk
tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur perjanjian
tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek.
Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum
internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang
dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang
menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial,
politik, dan budaya.
a.
Perjanjian Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah
peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum
internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional,
dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus
dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus
tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari
perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian
tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta
melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang
bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik
terhadap kedua pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut
menjadi pihak ke dalam perjanjian tersebut.
b.
Perjanjian Internasional Multilateral,
yaitu Perjanjian Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di
dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat
kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat khusus dan
ada pula yang bersifat umum, bergantung pada corak perjanjian multilateral itu
sendiri. Corak perjanjian multilateral yang bersifat khusus adalah tertutup,
mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang khusus menyangkut
kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau yang terikat dalam perjanjian
tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus tersebut, perjanjian multilateral
sesungguhnya sama dengan perjanjian bilateral, yang membedakan hanya dari segi
jumlah pesertanya semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat
umum, memiliki corak terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur
dalam perjanjian itu tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak
atau subjek hukum internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah
perjanjian tersebut, tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga.
Dalam konteks negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut
seluruh negara di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa
negara saja. Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu
memang membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam
perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini
cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara
umum atau universal.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar